
Buletin Sigma – Sekilas Tentang Drama, Definisi, Jenis dan Ciri Drama adlah rangkuman dari berbagai sumber untuk memberikan kemudahan dalam memahami drama secara singkat. mulai dari pengertian drama, elemen dalam drama, hingga analisa drama.
1. Hakikat Drama
PENGERTIAN DRAMA
Secara etimologi drama berasal dari bahasa yunani dran (haryamawan dalam hasanudin, 1996:2) yang artinya berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi dan sebagainya. Jadi drama merupakan tindakan atau perbuatan.
Dalam bukunya yang berjudul Theatre Robert Cohen mendefinisikan drama adalah unit terkecil dari teater. Dan itu bukanlah “sesuatu” melainkan sebuah kejadian yang membutuhkan waktu dan tempat yang nyata. Dia juga menambahkan bahwa drama itu bukanlah hanya kata-kata tulisan dalam buku melainkan sebuah tindakan “ it is action, not just words in a book”.
Di indonesia drama terkadang disebut juga sebagai sandiwara berasal dari bahasa sansekerta Sandhi dan Wharah yang artinya rahasia dan ajaran. Dapat disimpulkan sandiwara ini berati pembicaraan atau dialog yang isinya berupa ajaran atau didikan yang disampaikan tidak secara langsung.
Dari ketiga definisi tersebut dapat dikatakan bahwa Drama adalah hasil suatau karya sastra yang menggambarkan kehidupan nyata dari manusia lewat gerak, aksi dan dialog yang di tampilkan diatas pentas dan bertujuan memberikan warahan atau ajaran yang baik pada penontonya.
2. ELEMEN DALAM DRAMA
i. ANATOMI DRAMA
– Babak : satu urutan waktu
– Adegan : gambaran prilaku
– Dialog : percakapan antara du tokoh atau lebih
– Petunjuk pengarang/
Stage Direction : petunjuk gerak untuk diperagakan
– Prolog : pengantar cerita di awal
– Epilog : pengantar cerita di akhir
ii. UNSUR INTRINSIK DRAMA SEBAGAI BETUK PERTUNJUKAN
– Cerita : naskah yang akan dibawakan.
– Panggung :tempat pertunjukan. Menurut Padmodarmaya (1988) ada 2 bentuk panggung yaitu bentuk prosenium dan arena yang dimana arena sendiri terbagi lagi dalam beberapa bentuk; stengah lingkaran, tapal kula, bentuk L, bentuk U.
– Pelaku : tokoh atau aktor yang memainkan peranya sesuai dengan naskah.
– Penonton : apresiator dari pertunjukan.
3. JENIS-JENIS DRAMA SEBAGAI BENTUK SAJIAN
Menurut Japi Tambajong (1981) dalam buku ”dasar-dasar drama turgi” terdapat lima bentuk drama sebagai bentuk sajiannya, yaitu: tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, farce.
i. TRAGEDI, drama yang berujung dengan duka cita. Mustappa (1995:25) menambahkan bentuk tragedi ini sebagai drama duka yang didalamnya bersuasana muram dan sedih serta berakhir dengan malapetaka dan kepiluan.
ii. KOMEDI, cerita yang berakhir dengan suka cita. Mustappa (1995:25) berpendapat bentuk komedi ini disebut juga sebagai drama ria karena didalamnya berisi hiburan dan sindiran-sindiran serta berakhir menyenangkan.
iii. TRAGIKOMEDI, dua paras perasaan yang digabungkan, tragedi dan komedi. Jadi dilamnua terdapat cerita yang sedih namun disisi lain juga terdapat keadaan yang suka ria.
iv. MELODRAMA, bentuk ini menyguhkan suatu bentuk yang mengkombinasikan beberapa elemen yang terdapat dalam komedi dan tragedi namun berbeda dengan tragikomedy, dalam meodrama kebanyakan berakhir bahagia.
v. FARCE, pada dasarnya bentuk ini lebih pada sajian gerak yang bersifat karikatural dan berpola pada komedi. Gelak tawanya diwujudkan pada kata dan perbuatan sehingga hampir menyerupai dagelan tetapi tidak sepenuhnya dagelan.
4. ALIRAN DALAM DRAMA
Terdapat banyak aliran dalam drama yang dianut oleh para penggiat drama sekarang ini, Aliran dalam drama adalah gaya yang di tentukan oleh sikap yang tumbuh pada kurun waktu tertentu, yaitu:
i. KLASISME, dalam klasisme aturan sebuah naskah sangat ditaati, antara lain, lakon berjalan lima babak. Dan temanya sekitar kutukan akan jatuh pada manusia yang laknat dan bebal.
ii. NEOKLASISME, bentuk drama dengan tiga segi yang mendasar, yaitu: kebenaran, kesusilaan, dan kegaiban. Syahadat kaum neoklasis adalah segenap alam dikuasai oleh satu tuhan.
iii. ROMANTISISME, bentuk drama yang lahir abad ke-18 diwarnai oleh sikap yang kukuh, bahwa manusia dapat menemukan apa saja. Menonjolkan pemujaan terhadap alam, masa silam, serta hal hal yang bersifat alam ghaib. Disisi lain aliran ini juga menganggap imajinasi sebagai pusat penciptaan kehidupan dimana karya-karyanya lebih mementingkan subjektivisme dibanding objektivisme.
iv. REALISME, berkembang pada abad ke-19. Bergaung dari tata nilai yang berlaku akibat pikiran kaum positivisme, terutama karena pengaruh buku Charles Darwin (the origin of species). Aliran ini mengungkapkan setiap aspek ekhidupan dengan teliti dan apaadanya.
v. SIMBOLISME, sebutan lain untuk neoromantisisme dan impresionisme. Aliran yang berangkat dari gerakan kesadaran bahwa hakekat kebnaran hanya mungkin dipahami oleh intuisi. Menolak sifat-sifat yang umum tentang pengertian kenyataan. Kebenaran sebagai suatu kenyataan tidak bisa dirumuskan oleh logika melainkan melalui simbol-simbol. Aliran ini memanfaatkan sesuatu yang kongkret untuk melambangkan makna lain yang sifatnya abstrak; aliran ini muncul di prancis untuk menentang realisme.
vi. EKSPRESIONISME, aliran yang muncul abad ke-20. Aliran ini menantang keampuhan realisme. Pengucapan dan pikiran serta luapan perasaan seorang seniman yang diutarakan dalam karya seninya.
vii. ABSURDISME, bentuk drama tahun 50-an sama sekali bersumbu pada dunia pandangan bahwa dunia netral. Kenyataan dan kejadian ini tak berwujud. Tak ada kebenaran objektif. Setiap insan harus menemukan sendiri nilai-nilai hidup yang sanggup menghidupkan hidupnya.
Sebagai contoh, jika manusia mengatakan suatu peristiwa tak berasusila, hal itu tidaklah dianggap dengan sendirinya asusila, tetapi itu disebabkan oleh pikiranya sendiri yang mengatakan itu asusila.
Definisi lain mengatakn absurd adalah tidak masuk akal, istilah sastra atau drama untuk menunjuk sebuah karya yang baik alur, latar maupun tokohnya tidak mengikuti pola-pola konvensional.
Absurd ini mulanya sangat di pengaruhi oleh filsafat eksistensialisme.
5. ANALISIS DRAMA (METODE TELAAH KARAKTERISASI)
a) METODE LANGSUNG
Metode langsung (telling) pemaparan dilakukan langsung oleh si pengarang. Metode biasanya digunakan oleh penulis-penulis terdahulu namun tidak menutup kemungkinan zaman sekarang ini terdapat pengarang menggunakan metode ini.
Dengan menggunakan metode ini kita dapat menganalisis karakter; dengan menggunakan nama tokoh, penampilan tokoh, dan melaui tuturan pengarang.
- Karakterisasi menggunakan nama tokoh
Penggunaan nama dalam suatau karya kerap kali digunakan untuk menumbuhkan gagasan atau ide untuk cerita yang dibangun, dan nama juga biasanya digunakan untuk menggambarkan watak atau karakteristik yang dominan dari si tokoh itu sendiri.
Contoh, tokoh Edward Murdstone dalam David Copperfield karya Charles Dickens, stone sama saja dengan batu – keras berarti si tokoh memiliki watak yang keras.
Kadang penggunaan nama tokoh ini untuk menjelaskan penampilan fisiknya atau bahkan berlawanan dengan penampilan fisik si tokoh.
Penggunaan nama juga bisa mengandung kiasan (allusion) atau historis dalam bentuk asosiasi. Contoh; nama Ethan Brand dalam Ethan Brand karya Nathaniel Hawtorne, mengacu pada tokoh pembakar kapur yang gemar bertualang. Nama ini mengandung kiasan dengan tanda Brand terhadan Cain, pewaris dosa shingga Brand dibuang sebagaimana ajaran yang terdapat dalam kitab injil.
Disisi lain nama juga bisa menunjukan kebalikanya (ironis). Sebagai contoh tokoh Fortunato dalam The Cast of Amontillado karya Edgar Alan Poe yang senantiasa bernasib sial padahal kata “Fortunato” berati beruntung.
b) TAK LANGSUNG
Metode taak langsung adalah metode dramatik yang mengabaikan kehadiran pengarang, sehingga tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka.
i. Karakterisasi melaui dialog
Ketika membaca suatu dialog yang harus diperhatikan adalah substansi dari dialog tersebut apakah dialog itu penting sehingga dapat mengembangkan peristiwa-peristiwa dalam satu alur atau sebaliknya.
Bila si penutur selau berbicara tentang dirinya sendiri maka muncul kesan bahwa ia seorang yang berpusat pada diri sendiri dan agak membosankan.
Jika si penutur selalu membicarakan tokoh lain ia terkesan tokoh yang seang bergosip dan suka mencampuri urusan orang lain.
Ada pula yang di sebut dengan jatidiri penutur, yaitu ucapan yang disampaikan oleh seorang protagonis (tokoh sentral) yang seyogyanya dianggap lebih penting dari apa yang diucapkan oleh tokoh bawahan (tokoh minor).
ii. Lokasi dan situasi percakapan
Dalam kehidupan nyata, jikapercakapan terjadi pada malam hari dan di tempat yang khusus biasanya lebih serius dan lebih jelas dibanding dengan percakapan pada siang hari dan berada di tempat umum. Demikian pula denga yang terjadi dalam sebuah cerita fiksi; namun pembacaharus memperhatikan mengapa pengarang menampilkan pembicaraan di tempat-tempat seperti jalan dan di teater. (pickering dan hoper, 1981:33. Dikutip dari minderop, 2005: 28).
Sebagai contoh lokasi yang bisa menggambarkan karakter tokoh dalam cerita, di kutip dari naskah drama Mourning Becomes Electra karya Eugene O’neil:
Sebuah percakapan antar pembantu pada keluarga mannon yang terjadi di bagian luar rumah yang memiliki dua pintu masuk dari arah jalan. Pengarang menggambarkan adanya warna-warna kontradiktif yang menghiasi bangunan depan rumah hitam , putih abu-abu, dan hijau. Terdapt sebuah bangku taman yang terlindung sehingga tidak terlihat dari depan rumah bagian atas rumah yang di topang oleh pilar seperti topeng putih yang tidak selaras menempel di rumah tersebut seakan-akan menyembunyikan keburukan dan nuansa kusam; demikian watak para tokoh.
Sedikit gamabaran lokasi diatas dapat memberikan inspirasi pada pembca betapa penghuni meninggali rumah tersbut menyimpan suatu misteri dan keburukan yang di smebunyikan.
iii. Nada suara, tekanan, dialek, dan kosakata
Nada suara walaupun diekspresikan secara eksplisit atau implist dapat memberikan gambaran pada pembaca tentang watak si tokoh apakah ia seorang yang pecaya diri atau pemalu demikian juga sikap si tokoh ketika berbincang-bincang dengan tokoh lainya. . (pickering dan hoper, 1981:33. Dikutip dari minderop, 2005: 34).
Contohnya tokoh ames dalam drama Mourning Becomes Electra karya Eugene O’neil dengan nada suara yang menegur keras dan ada sesuatu yang dirahasiakan karena ia berbisik:
AMES : sssh! Shut up, can’t you? Here Seth comin’. (but he wishpers quickly to Minnie)
Tekanan, yang dimunculkan oleh tokoh memperlihatkan watak dan kondisi mental/emosi mereka, seperti contoh di bawah ini tokoh Lavinia yng sedang marah:
Lavinia: (stiffening-brusqurely) i don’t know anything about love! I don’t want to konw anything! (intensly) i hate love!
Dialek dan Kosakata, dapat memberi gambaran pada pembaca tentang status sosial tokoh apakah ia seorang yang berpendidikan atau sebaliknya, apakah dia seorang kaya atau miskin.
6. REFERENSI
Cassady, M. (1994). An Introduction to Modern One-Act Plays. Chicago: National Textbook Company.
Cohen, r. (1996). Theatre brief version. london: mayfield publishing company.
Minderop, A. (2011). Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Obor indonesia.
Mustappa, A. (1995). Kamus Sastra. Bandung: Granesia.
Padmodarmaya, P. (1998). Tata dan teknik Pentas . Jakarta: Balai Pustaka.
Tambajong, J. (1981). dasar-dasar dramaturgi. Bandung: cv Pustaka Prima.
WS, H. (1996). Drama karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.